Menginspirasi, Ini Kisah Perjalanan Tiga Srikandi Non-Muslim Raih Gelar Sarjana di IAIN Ternate
--- Dari 626 mahasiswa yang mengikuti wisuda sarjana dan magister XIV IAIN Ternate pada Selasa (30/9/2025) hari ini, terdapat 3 mahasiswa non-Muslim, mereka di antaranya Gita, Retni Wangelamo dan Jessica Elizabet Girato. Sebagai mahasiswa non-Muslim yang menempuh pendidikan di kampus keagamaan Islam tentu memiliki kisah yang berbeda dengan mahasiswa muslim pada umumnya, Lantas bagaimana kisah ketiganya menempuh pendidikan di IAIN Ternate? –
Foto: Retni Wangelamo (kiri) Gita (tengah) Jessica Elizabet Girato (kanan)
Foto: Retni Wangelamo (kiri) Gita (tengah) Jessica Elizabet Girato (kanan)
Dari ratusan mahasiswa yang mengikuti acara wisuda sarjana dan magister XIV IAIN Ternate pada Selasa (30/9) pagi ini tentu terasa amat berkesan bagi Gita, Retni Wangelamo dan Jessica Elizabet Girato.
Karena sebagai mahasiswa non-muslim yang meraih gelar sarjana di kampus keagamaan Islam, merupakan sebuah pencapaian yang berbeda bagi mahasiswa IAIN Ternate pada umumnya.
Bukan tentang gelar sarjana yang mereka raih, tapi soal kisah mereka yang bakal menjadi selimut sejarah bagi kampus keagamaan Islam tertua di wilayah Timur Indonesia ini.
Karena mereka mampu menghempaskan keraguan dalam benak masyarakat, bahwa sebagai perguruan tinggi keagamaan, IAIN Ternate bukan hanya dinilai sebagai lembaga pendidikan yang hanya menampung anak muda Islam, melainkan perguruan tinggi milik semua anak bangsa.
Dan’ hari ini ketiganya membuktikan kepada semua orang, bahwa melanjutkan studi di IAIN Ternate dengan kurikulum berbasis Islam tak menyulitkan langkah ketiganya dalam menggenggam ijazah sarjana.
Pencapaian mereka tentu membuat orangtua mereka mengulum senyum bahagia, sepanjang berlangsungnya prosesi wisuda sarjana dan magister XIV di auditorium IAIN Ternate.
Bukan hanya itu, dengan meraih gelar sarjana pada selasa (30/9/2025), pasti getaran perasaan bahagia ikut terpancar di wajah keluarga besarnya yang ikut menyaksikan momen mereka bersalaman dengan rektor IAIN Ternate Prof Dr Radjiman Ismail, M.Pd.
Terlebih bagi Gita, karena pada awalnya tak sedikit pun terbersit nama IAIN Ternate dibenaknya selama berada di bangku SMAN 2 Totikum Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Karena impian terbesarnya adalah ketika menuntaskan pendidikan SMA, ia dapat melanjutkan studi di provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tepatnya di Universitas Sam Ratulangi Manado, atau di Universitas Kristen Tomohon.
Tapi, bukannya ia meraih gelar sarjana pada salah satu dari dua kampus di Sulut itu, melainkan Tuhan mentakdirkan bahwa ia harus berlayar ke bumi para raja. Moloku Kie Raha. Untuk menimbah ilmu di Ternate, dan hari ini namanya resmi tercatat sebagai alumni IAIN Ternate.
“Saat itu, saya memilih mendaftar di Universitas Sam Ratulangi Manado, tapi ibu saya tidak memberi izin lantaran tidak ada keluarga di kota Manado,” kenangnya saat ditemui di kampus IAIN Ternate, Senin (22/9/2025).
Setelah gagal mendaftar di Unsrat Manado, bungsu dari tujuh bersaudara ini memilih Universitas Kristen Tomohon, tapi lagi-lagi sang ibunya tak merestui karena dengan alasan yang sama.
Untuk itu, soal melanjutkan studi di perguruan tinggi, ia menyerahkan sepenuhnya kepada ibunya. Sontak, pikiran ibunya melayang jauh ke Ternate, karena salah satu anak gadisnya sudah terlebih dahulu menetap di Ternate, bahkan putrinya itu telah resmi memeluk agama Islam.
Dengan begitu, ibunya merasa bahwa di kota yang mayoritas beragama Islam ini, Gita pasti tidak menemui kendala dalam pergaulan, karena sang kakaknya juga beragama Islam.
Sehingga ia meyakini, jika Gita menyusul sang kakaknya ke Ternate pasti meraih sukses sebagai seorang mahasiswa. Dan Gita akhirnya menyanggupi permohonan dari ibunya dan berlayar ke Ternate.
“Di Ternate saya tinggal bersama kakak saya di lingkungan Ake Sako kelurahan Dufa-Dufa Ternate Utara,” katanya seraya mengaku sangat akrab dengan mantan koordinator prodi MKS, Cici Aryansi Quilim dan dijadikan sebagai role model.
Ketika berada di Ternate, ia yakin bahwa bakal melanjutkan studi di salah satu kampus di wilayah Ternate Selatan. Namun, berdasarkan pertimbangan jarak tempuh yang begitu jauh, ia kemudian disarankan oleh sang kakaknya untuk melanjutkan studi di IAIN Ternate. Karena sang kakaknya itu, menerima informasi bahwa di IAIN Ternate juga menerima mahasiswa baru beragama Kristen.
“Kakak saya yang mendapat informasi tersebut, sehingga ia menyarankan saya untuk kuliah di IAIN Ternate,” ucapnya.
Walaupun memilih berkuliah di IAIN Ternate, namun ia terlambat mendaftar pada jalur pendaftaran gelombang pertama yakni jalur Seleksi Prestasi Akademik Nasional-Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN-PTKIN). Sehingga, harus mengikuti jalur UM-PTKIN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri).
Ia menuturkan, mendaftar pada jalur UM-PTKIN, ia memilih dua program studi pada fakultas yang berbeda, yakni prodi hukum Tata Negara (HT) di fakultas syariah dan Manajemen Keuangan Syariah (MKS) di fakultas ekonomi dan bisnis Islam. Namun, berdasarkan hasil ujian, ia dinyatakan lulus di prodi MKS.
“Saat mendaftar pada tahun 2021 lalu, saya memang memilih dua prodi pada fakultas yang berbeda, tapi setelah diumumkan, saya lulus sebagai calon mahasiswa baru pada prodi MKS,” ujar putri dari pasangan Budin Bangka dan Tasia Samuna.
Ia mengungkapkan, sebagai mahasiswi non-muslim, tapi menjalani aktivitas perkuliahan tidak mendapat kendala, pasalnya teman-teman sekelas dalam pergaulan di kampus sangat ramah, sopan, dan menjunjung nilai-nilai toleransi.
Walaupun begitu, keluarganya di desa Sampaka, kecamatan Totikum, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, sempat tak menyangka bahwa dia bisa diterima kuliah di IAIN Ternate.
Karena mereka meyakini, IAIN Ternate merupakan kampus Islam, sehingga pasti tidak menerima anak-anak non-muslim. Namun, setelah dijelaskan secara detail mengapa ia dapat diterima di IAIN Ternate, barulah mereka memahami bahwa ternyata di IAIN Ternate, walaupun sebagai kampus Islam, tapi sangat terbuka bagi anak-anak non-muslim.
“Awalnya saya merasa canggung, karena yakin bahwa mungkin hanya saya sendiri sebagai mahasiswa non-muslim, terlebih saat berada di kelas hanya saya yang tidak mengenakan jilbab layaknya mahasiswa IAIN Ternate pada umumnya,” terangnya.
“Namun, perlahan-lahan rasa canggung mulai hilang, setelah keakraban mulai terjalin di antara kami,” imbuh gadis kelahiran Sampaka Banggai Sulawesi Tengah 22 Mei 2002.
Menurutnya, teman-teman di prodi MKS, maupun teman-temanya pada fakultas lain, memperlakukannya layaknya teman sesama akidah, mereka tidak memandang bahwa ia merupakan mahasiswi beragama Kristen, tapi lebih melihat bahwa ia sebagai bagian dari keluarga besar IAIN Ternate.
Keakraban yang terbangun antara mahasiswa pun sama halnya seperti dosen dan pegawai administrasi, maupun para security kampus. Kondisi inilah, membuat ia mengabari kepada kedua orangtuanya di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, bahwa menjalani aktivitas sebagai minoritas di kampus Islam, ternyata tak jauh berbeda dengan hidup di tengah-tengah keluarga non-muslim.
Sebab, semua orang di kampus IAIN Ternate, tidak memandangnya dari latar belakang agama, melainkan menilai bahwa sebagai anak bangsa, siapa saja berhak kuliah di IAIN Ternate, karena kampus ini adalah milik pemerintah dan semua memiliki hak yang sama untuk menimbah ilmu.
“Dalam pergaulan sih terkesan biasa-biasa saja, begitupun juga dalam aktivitas perkuliahan maupun pengurusan administrasi akademik, tidak ada perlakuan khusus bagi teman-teman mahasiswa muslim, maupun sebaliknya, inilah yang membuat saya merasa nyaman di IAIN Ternate,” ujarnya gadis kelahiran Sampaka Banggai Kepulauan 25 Mei 2002.
Memang awalnya ia merasa canggung saat hari pertama berada di kelas, tapi selanjutnya tidak ada hambatan sama sekali saat mengikuti aktivitas perkuliahan, karena teman-temanya serta para dosen sangat men-support-nya.
“Puji Tuhan, tidak ada hambatan dalam perkuliahan, karena teman-teman dan dosen yang sangat membantu,” katanya.
Walaupun tidak ada hambatan saat pertama kali mengikuti aktivitas perkuliahan, tapi suatu kali ia merasa gugup, tak kala ditugaskan oleh dosen untuk menghafal surat-surat pendek di dalam Alquran pada juz ke-30.
Menurut dia, hal ini seperti memikul beban berat, karena ia tidak begitu paham soal mengeja huruf-huruf hijaiyah. Walaupun begitu dengan tekad yang kuat ia mampu melewati tantangan tersebut, yakni dapat menghafal sejumlah ayat pendek di dalam Alquran juz ke-30.
Dia menjelaskan, menjadi mahasiswi di IAIN Ternate, ia mendapat beragam pengalaman menarik yang bakal dikenang sepanjang hidup, pengalaman yang berkesan tersebut, seperti mengenakan busana yang lebih sopan, serta ikut menghafal ayat-ayat al-qur’an pada juz 30, maupun kala mendapat tugas mata kuliah menghafal kosa kata bahasa Arab.
Kata dia, menghafal ayat pendek dan kosa kata bahasa Arab hanya berlaku pada semeseter awal, tapi pada semester selanjutnya lebih ke penguatan basic keilmuannya di manajemen keuangan.
“Pada semester pertama dan kedua, saya sempat hafal ayat al-qur’an, tapi rata-rata ayat pendek, begitupun juga kosa kata bahasa Arab, tapi mungkin karena saya seorang non-muslim, sehingga saat berada di semester III dan IV, ayat-ayat al-quran dan kosa kata bahasa Arab dengan mudah hilang tanpa bekas,” akunya.
“Waktu itu saya agak sedikit sok saat mendapat tugas menghafal ayat-ayat pendek dalam Alquran,” kenangnya.
Seperti anak petani pada umumnya, ia pun terantuk dengan biaya hidup pada awal menjalani aktivitas perkuliahan, terlebih kala itu sang bapaknya jatuh sakit membuat ia sempat merasa was-was soal keberlangsungan studinya.
Di tengah kecemasannya, ia mendapat support dari ibunya, agar terus mengusung semangat demi konsentrasi belajar, kata ibunya, tak perlu berpikir soal biaya studi, karena ibunya bakal berupaya untuk menyanggupi; baik biaya studi maupun biaya hidup sepanjang menjalani kuliah di kota Ternate.
“Ibu saya sampai berutang demi membayar UKT serta menyanggupi permintaan saya soal biaya hidup dan lain-lain,” ucap gagis penganut Katolik seraya mengulas senyum.
Untuk itu, demi meringankan beban orangtua, ia menjalani aktivitas kuliah sambil bekerja harian di tempat laundry. Pekerjaan ini kata dia, mendongkrak biaya hidup saat tahun pertama di kota Ternate.
Dia mengungkapkan, pada semester II namanya diumumkan oleh bagian layanan akademik, bahwa ia mendapat beasiswa kartu Indonesia pintar (KIP). Walaupun begitu, ia merasa bahwa bukan karena ia seorang non-muslim lantas diberi beasiswa, lantaran beasiswa KIP-Kuliah, memang diperuntukkan kepada para mahasiswa berprestasi, terlebih ia juga merupakan mahasiswi yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) sangat memuaskan, sehingga berhak mendapat beasisw KIP.
“Saya mulai menerima beasiswa KIP pada semester II dan IPK saya saat adalah 3,91,” ungkapnya.
Mendapat beasiswa, gadis berzodiak Gemini ini cukup puas. Pasalnya, kedua orangtuanya merupakan seorang petani, sehingga menurutnya dengan beasiswa, ia merasa terbantu untuk membiayai segala keperluan pendidikan, maupun kehidupannya selama menjalani kuliah di IAIN Ternate.
Dia mengungkapkan, di dalam keluarga hanya ia sendiri yang berhasil melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Sehingga, dengan mendapat beasiswa, semangatnya makin menyala untuk giat belajar demi menuntaskan impian kedua orangnya.
“Saya anak bungsu dari tujuh bersaudara, di dalam keluarga hanya saya sendiri yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi, kakak saya semuanya telah menikah, dan saya bertekad harus lulus demi menuntaskan impian orangtua,” tuturnya
Ia bilang setelah wisuda, ia tetap tinggal bersama sang kakaknya di Ternate, sambil mencari pekerjaan tetap, untuk menjawab keinginan orangtuanya. Namun, saat ditanya, apakah berpikir untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana IAIN Ternate, ia hanya melempar senyum seraya berkata, sebagai anak petani ia belum berpikir untuk melanjut studi ke pascasarjana.
Walaupun begitu, ia bilang tak menutup kemungkinan, jika telah memiliki pekerjaan tetap pasti melanjutkan studi ke pascasarjana.
“Untuk sekarang, saya belum berpikir bahwa setelah lulus S-1 lalu lanjut ke S-2, saya malah berpikir jika lulus kuliah, saya bisa dapatkan pekerjaan, agar bisa menghadirkan senyum kebahagiaan di wajah orangtua,” ucapnya.
Sama halnya dengan Gita, Retni Wangelamo juga memiliki orangtua berprofesi sebagai petani. Anak pertama dari pasangan Robi Wangelamo dan Nofelina Luri ini juga memilih program studi manajemen keuangan syariah (MKS) pada fakultas ekonomi dan bisnis Islam.
Menurut dia, sebelum mendaftar di IAIN Ternate, ia terlebih dahulu meminta pandangan terkait program studi di IAIN Ternate dari kepala sekolahnya di SMK Bhineka Tunggal Ika Gane Timur Halmahera Selatan.
Dari situlah ia kemudian memantapkan hati untuk memilih prodi MKS, terlebih mendapat support dari kedua orangtuanya untuk melanjutkan studi di IAIN Ternate.
“Pak Kepsek di SMK BTI Gane Timur juga merupakan alumni dari IAIN Ternate, sehingga dari penjelasannya tentang IAIN Ternate membuat kedua orangtua saya juga mendukung untuk kuliah di IAIN Ternate,” katanya, Selasa (23/9/2025).
Dia mengungkapkan, sejak resmi menjadi mahasiswa pada fakultas ekonomi dan bisnis Islam (FEBI) IAIN Ternate, ia merasa canggung dan gugup pada saat minggu pertama mengikuti proses perkuliahan.
Pasalnya, ia tidak mengenakan hijab layaknya mahasiswa di kampus keagamaan Islam, sehingga hal inilah yang membuat mahasiswa di FEBI menatap heran, begitupun juga tak kala ia mendapat teguran oleh salah seorang dosen saat melihatnya tidak memakai jilbab.
“Mereka awalnya mengira saya muslim, tapi setelah dijelaskan baru dimaklumi,” kenangnya.
Selain merasa canggung dan mendapat teguran lantaran tidak berhijab, gadis yang sangat mengidolai eks koordinator prodi MKS Cici Aryansi Quilim itu, juga merasa agak syok saat belajar mata kuliah keagamaan.
“Karena baru pertama kali belajar ilmu keagamaan Islam, terlebih saya merasa sedikit syok saat mendapat tugas menghafal ayat-ayat pendek pada juz ke-30 Alquran,” ucapnya.
Walaupun begitu, dia menegaskan bahwa setelah belajar mata kuliah keagamaan, dirinya merasa bahwa ilmu keagamaan yang sangat bermanfaat. Karena menurut dia, sejatinya semua agama mengajarkan tentang hal-hal baik untuk penganutnya.
Gagis kelahiran Matuting Tanjung, Pulau Gane, Halmahera Selatan 09 Agustus 2001 ini mengungkapkan, belajar mata kuliah keagamaan pada semester awal merupakan tantangan tersendiri, tapi selanjutnya ia merasa sangat bersemangat kala belajar mata kuliah terkait basic keilmuan di program studinya.
“Puji Tuhan, pada semester selanjutnya tidak ada hambatan, karena semua teman serta dosen sangat membantu,’’ terang gadis berzodiak Leo.
Satu hal yang ia apresiasi selama menempuh studi di IAIN Ternate adalah memiliki teman-teman yang sangat akrab dan tidak membeda-bedakan satu sama lainnya, begitupun para dosen di FEBI yang terus menerus men-supportnya.
Retni menuturkan, sebagai anak pertama dalam keluarga, ia sangat termotivasi menyelesaikan studi tepat waktu, agar nanti setelah lulus kuliah cepat mendapat pekerjaan dan membantu mendongkrak perekonomian keluarga. Untuk itu, kedua orangtua memotivasinya agar giat belajar demi cepat menuntaskan pendidikan.
“Kedua orangtua saya bahkan sempat berutang demi biaya studi dan kebutuhan sepanjang menjalani proses studi di Ternate,” ungkapnya.
Walaupun sebagai sarjana ekonomi, tapi dia tidak mengikuti jejak para seniornya yang bekerja di sektor perbankan, menurut dia impian terbesarnya setelah lulus kuliah adalah bekerja di birokrasi pemerintah.
Berbeda dengan Gita dan Retni, Jessica Elizabet Girato berhasrat jika lulus kuliah, ia ingin melanjutkan ke jenjang strata dua (S-2) dan kembali mengabdi di IAIN Ternate. Walaupun sempat tertarik untuk bekerja di lembaga keuangan, tapi menurut dia mengabdi di almater merupakan impiannya.
Soal menempuh studi di IAIN Ternate, Jessica memiliki kisah yang hampir sama persis dengan Gita dan Retni. Dia mengungkapkan, awal mula ia mengenal program studi perbankan syariah (PBS) di IAIN Ternate melalui tim sosialisasi dari IAIN Ternate pada sekolah-nya yakni di SMAN 17 Halmahera Selatan.
Setelah mendapat informasi melalui tim sosialisasi, anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Jefri Girato dan Petro Nela Seluk itu, merasa penasaran sehingga ia dan ayahnya ingin mencari tahu lebih jauh soal IAIN Ternate; baik melalui website maupun media sosial resmi milik IAIN Ternate.
“Kedua orangtua saya yang terus menyemangati saya untuk kuliah di IAIN Ternate,” kenangnya, Selasa (23/9/2025).
Khusus fakultas ekonomi dan bisnis Islam (FEBI) IAIN Ternate memiliki 4 program studi, walaupun begitu gadis berzodiak Aquarius ini, tetap pada pendiriannya bahwa ia memilih kuliah di IAIN Ternate karena tertarik pada prodi perbankan syariah. Sehingga, tidak menjatuhkan pilihan pada prodi lainnya.
Menurut dia, prodi perbankan memiliki prospek kerja yang sangat baik. Untuk itu, kata dia, jika bekerja di lembaga keuangan pun memiliki peluang yang sangat besar. Terlebih dia meyakini jika sebagai non-muslim dan bekerja di perbankan syariah, pasti menghadirkan kebanggaan tersendiri.
“Dan saya ingin memaksimalkan peluang tersebut, walaupun pada akhirnya saya lebih tertarik menjadi akademisi, karena ingin mengabdi dan membesarkan almamater tercinta,” akunya.
Gadis kelahiran Bitung Sulawesi Utara, 23 Januari 2003 itu, mengungkapkan sejak pertama kali menjalani proses perkuliahan, dirinya sempat merasa minder lantaran mayoritas mahasiswa di IAIN Ternate adalah beragama Islam.
Tapi dengan tekad yang kuat untuk menimbah ilmu di IAIN Ternate, sehingga ia cepat beradaptasi; baik di lingkungan kampus, maupun tak kala berbaur dengan teman-temannya di kontrakan.
“Perlahan-lahan saya mulai beradaptasi dengan suasana di kampus, bahkan aktif di kelas dan bergaul dengan teman-teman di prodi lainnya,” ucapnya.
Untuk menjalani proses perkuliahan pada semester awal, alumni SD Inpres Songa Bacan Timur Tengah itu, mengungkapkan bahwa merasa sedikit kebingungan saat belajar bahasa Arab.
Walaupun begitu, pada mata kuliah keagamaan Islam, dirinya selalu rajin mengikuti, karena menurut dia, selain menambah ilmu, di sisi lain menambah wawasan tentang ke-Islam-an.
“Walaupun terkadang agak sulit untuk menulis kosa kata bahasa Arab, dan mengejanya, tapi bagi saya ilmu ke-Islam-an merupakan ilmu baru bagi saya yang seorang non-muslim, dan pastinya belajar ilmu Islam pasti seru,” katanya.
Sempat mengalami hambatan saat belajar mata kuliah ke-islam-an di semester awal, tapi mengingat pesan kedua orangtuanya untuk selalu giat belajar, membuat dirinya termotivasi melahap setiap ilmu yang disampaikan oleh para dosen di program studi perbankan syariah.
“Pesan orangtua ialah konsentrasi penuh pada studi, dan tunjukkan bahwa bisa menyelesaikan studi di IAIN Ternate, dan puji Tuhan ilmu yang saya dapatkan lumayan banyak,” akunya.
Jessica mengungkapkan, sepanjang menempuh studi di IAIN Ternate, ia tidak hanya mengharapkan biaya studi dari kedua orangtuanya, melainkan ia juga menjalani pekerjaan sampingan; baik sebagai kurir pengiriman barang maupun bisnis online untuk alat-alat kosmetik dan lain-lain.
Selain itu, ia juga aktif berorganisasi; baik untuk organisasi kemahasiswaan, maupun organisasi ektra kampus. Untuk organisasi kemahasiswaan, ia menjatuhkan pilihan pada KRS PMI 02 unit IAIN Ternate, serta aktif di federasi kempo Indonesia (FKI).
“Kalau organisasi ektra kampus, saya bergabung bersama organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), serta aktif juga di Savate (organisasi bela diri ala Eropa),” terangnya.
“Karena semenjak di SMA, saya juga aktif di Taekwondo,” imbuh gadis yang mengidolai dosennya di prodi PBS Fitria Hi. Mhd. Amin. S.HI., MA.
Gadis penganut Kristen Protestan itu menambahkan, menempuh pendidikan di IAIN Ternate bukan hanya mendapat begitu banyak ilmu, melainkan di sisi lain, kata dia, nuansa akademiknya juga sangat baik. Terlebih semua dosen di prodi perbankan syariah sangat men-support mahasiswa.
“Yang pasti bahwa jangan memotret IAIN Ternate hanya dari luar, tapi mari bergabung dan menjadi keluarga besar IAIN Ternate, karena IAIN Ternate walaupun sebagai kampus keagamaan Islam, tapi bukan berarti bahwa hanya diperuntukkan bagi mahasiswa muslim, melainkan milik semua anak bangsa,” tandasnya. (*)